STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 08 Juli 2011

KOMPONEN DASAR DAN BIDANG-BIDANG FIQH SIYASAH

Pendahuluan
            Di kalangan umat Islam ada pendapat, bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Didalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya, Hal ini diyakini oleh Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, dan al-Maududi yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap, oleh sebab itulah dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem yang telah ada dalam Islam, khususnya masalah ketatanegaraan atau politik Islam haruslah dijadikan teladan karena telah lama dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat Khulafa al-Rasyidin.[1]

Sayyid Quthb, penulis tafsir fi Zhilal al-Qur’an, juga berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan amat lengkap sebagai suatu sistem kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan tetapi juga sistem politk termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem masyarakat, sistem ekonomi dan sebagainya.[2]
            Kaitannya dalam permasalahan ketatanegaraan, terdapat suatu fakta menarik bahwa persoalan siyasah sering dipandang dan dianggap sebagai suatu proses yang tidak pernah selesai, karena senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial dan pergumulan budaya, serta secara fakta nyata, hal ini telah, sedang, dan akan terus terjadi dalam perjalanan sejarah umat Islam. Sejalan dengan pandangan demikian, pemecahan atas pelbagai masalah yang terkait dengan hal ikhwal siyasah  lebih kontekstual, karena gejala persoalan siyasah sering menampakkan diri dalam sosok yang beragam sesuai dengan waktu dan tempat.[3] Meskipun demikian, nilai siyasah tidak serta merta menjadi nisbi (relatif), karena dalam konteks ketatanegaraan dan politik, ia masih memiliki suatu kemutlakan. Paling tidak, siyasah terkait kemestian untuk selalu mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah.
 
Islam dan Politik
            Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah, jika dikaji dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern, tidak disangsikan lagi dan dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, dapat dikatakan bahwa sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem yang didasari konsep religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi tempat sistem ini berpijak.
Dengan demikian, sistem yang ada dalam Islam menyandang dua karakter (agama dan sistem) sekaligus karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan yang menyangkut masalah materi dan ruhani, serta mengurus perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisahkan antara satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan dan mengemukakan bukti-bukti, karena telah banyak didukung oleh bukti-bukti sejarah dan menjadi keyakinan kaum muslimin sepanjang yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian uamt Islam sendiri yang mengklaim diri sebagai kalangan pembaharu, dengan terang-terangan mengingkari fakta ini dan mengklaim bahwa Islam hanyalah dakwah agama.[4] Maksud mereka adalah bahwa Islam hanya sekedar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dan rabbnya sehingga tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang dinamakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini, yang paling utama adalah masalah politik, sebagaimana perkataannya ”Agama adalah satu hal dan politik adalah hal lain”.
Untuk meng-counter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika dihadapkan dengan pendapat-pendapat ulama Islam dan diperlihatkan dengan bukti-bukti sejarah karena kalangan mereka tidak mau mendengarkannya dan mencampakkan serta mendeskreditkannya. Oleh karena itu, cukuplah dikutip pendapat para orientalis-orientalis yang meriset permasalahan ini dan mengutarakannya dengan redaksi yang tegas dan jelas. Hal ini perlu dilakukan karena para pembaharu yang meyakini bahwa Islam adalah dakwah agama, tidak lagi dapat mengklaim kemodernan mereka dan kemampuan dalam menggunakan metode riset modern dan ilmiah jika dihadapkan dengan pemikir dari Barat. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
1.       Dr. V. Fitzgerald berkata,
”Islam bukanlah semata-mata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada kalangan dari umat Islam yang menklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun yang harus diakui bahwa seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamen bahwa sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lain”.[5]
2.       Prof. C. A. Nallino berkata,
”bahwa Muhammad telah membangun dalam waktu yang bersamaan, agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang dia bangun sepanjang hayatnya”.[6]
3.       Dr. Schacht berkata,
”Islam lebih dari sekedar agama; ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara secara bersamaan”.[7]
4.       Prof. R. Strothmann berkata, ”Islam adalah suatu fenomena agama dan politik karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau seorang negarawan”.[8]
5.       Prof. D. B. Macdonald berkata, ”di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam”.[9]
6.       Sir T. Arnold berkata, ”adalah seorang Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala negara dan kepala agama”.
 
 
7.       Prof. Gibb berkata,
”Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama yang individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan, dan institusi”.
            Seluruh pendapat para orienalis di atas diperkuat oleh berbagai fakta dan bukti sejarah, yaitu setelah dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain, mengakui undang-undang, menjalankan kehidupan sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas  secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat politik, atau yang dinamakan negara.
 
Ruang Lingkup Fiqh Siyasah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ruang lingkup kajian figh siyasah, diantaranya ada yang menetapkan lima bidang. Ada pula yang menetapkannya pada empat atau tiga bidang pembahasan saja. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang. Namwn perbedaan ini benarnya tidak terlalu prinsip, karma hanya bersifat teknis. Namun jika diperhatikan lebih jauh, perbedaan ini sebebnarnya tidak terlalu prinsip karena hanya bersifat teknis.
Menurut al-Mawardi, ruang lingkup kajian fiqh siyasah mencakup kebijaksanaan pemerintah tentang peraturan perundang-undangan (siyasah dusturiyah), ekonomi dan moneter (siyasah maliyah), peradilan (siyasah qadha’iyah), hukum perang (siyasah harbiyah) dan administrasi negara (siyasah idariyah). Sedangkan Ibn Taimiyah meringkasnya menjadi empat bidang kajian, yaitu peradilan, administrasi negara, moneter serta hubungan internasional. Sementara Abdul Wahhab Khallaf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu peradilan, hubungan internasional dan keuangan negara. Berbeda dengan tiga pemikir di atas, T.M. Hasbi malah membagi ruang lingkup fiqh siyasah menjadi delapan bidang, yaitu politik pembuatan perundang-undangan, politik hukum, politik peradilan, polit moneter/ekonomi, politik administrasi, politik hubungan internasional, politik pelaksanaan perundang-undangan dan politik peperangan.[10]
Berdasarkan perbedaan pendapat di atas, pembagian fiqh siyasah dapat disederhanakan menjadi tiga bagian pokok. Pertama, politik perundang-undangan (al-siyasah a/-dusturiyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (tasyri'iyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (qadha'iyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (idariyah) oleh birokrasi atau eksekutif.
Kedua, politik luar negeri (al-siyasah a1-kharijiyah). Bagian ini men­cakup hubungan keperdataan antara warga negara muslim dengan warga negara non-muslim yang berbeda kebangsaan (al-siyasah al-duali al­-khash) atau disebut juga hukum perdata internasional dan hubungan diplomatik antara negara muslim dan negara non-muslim (al-siyasah al­-duali al-'am) atau disebut juga dengan hubungan internasional. Hukum perdata internasional menyangkut permasalahan jual beli, perjanjian, peri­katan dan utang piutang yang dilakukan warga negara muslim dengan warga negara lain. Sedangkan hubungan internasional mengatur antara lain politik kebijakan negara Islam dalam masa damai dan perang. Hu­bungan dalam masa damai menyangkut tentang kebijaksanaan negara mengangkat duta dan konsul, hak-hak istimewa mereka, tugas dan kewa­jiban-kewajibannya. Sedangkan dalam masa perang menyangkut antara lain tentang dasar-dasar diizinkannya berperang, pengumuman perang, etika berperang, tawanan perang, dan gencatan senjata.
Ketiga, politik keuangan dan moneter (al-siyasah al-maliyah). Per­masalahan yang termasuk dalam siyasah maliyah ini adalah sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak, dan perbankan.
 
Prinsip-Prinsip Dasar
            Berkenaan dengan kehidupan bernegara, al-Qur’an dalam batas-batas tertentu, tidak memberikan dan menentukan sistem dan bentuk tertentu dalam bernegara. Tetapi Islam hanya memaktubkan tata nilai dan dasar-dasarnya, demikian pula dengan as-Sunnah. Sebagai contoh Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan prosedur secara rinci mengenai pergantian kepemimpinan umat dan kualifikasi pemimpin.
A.     Prinsip-Prinsip dari al-Qur’an
1.       Kedudukan manusia di atas bumi
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
(Q.S. al-Baqarah: 30)
Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
(Q.S. an-Nur: 55)
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi
(Q.S. an-Naml: 62)
Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
(Q.S. Shad: 26)
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala urusan.
(Q.S. Ali Imran: 26)
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
(Q.S. al-An’am: 165)
Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.
(Q.S. Yunus: 14)
2.       Prinsip manusia sebagai umat yang satu
Manusia itu adalah umat yang satu.
(Q.S. al-Baqarah: 213)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
(Q.S. al-Hujurat: 13)
3.       Prinsip menegakkan kepastian hukum dan keadilan
Keadilan adalah tujuan umum atau tujuan akhir pemerintahan Islam. Kalangan ahli hukum dan pemerhati masalah kenegaraan/politik tidak sesering ulam hukum Islam dalam membicarakan makna keadilan, berikut urgensitas komitmen para penguasa untuk berpegang teguh dan menerapkannya, termasuk juga para aparat negara yang berhubungan dengan kepentingan umum. Perintah melaksanakan keadilanbanyak ditemukan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an menyuruh untuk berlaku adil dan Allah sendiri menjadikan keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan. Di antaranya Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
(Q.S. an-Nisa’: 58)
4.       Prinsip kepemimpinan
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
(Q.S. Ali Imran: 118)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
(Q.S. an-Nisa’: 59)
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.
(Q.S. as-Syu’ara’: 150-152)
5.       Prinsip musyawarah
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(Q.S. Ali Imron: 159)
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(Q.S. as-Syura: 38)
6.       Prinsip persatuan dan persaudaraan
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara
(Q.S. Ali Imron: 103)
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
(Q.S. al-Hujurat: 10)
7.       Prinsip persamaan
 Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
(Q.S. an-Nisa’: 1)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
 (Q.S. al-Hujurat: 13)
8.       Prinsip hidup bertetangga/hubungan antar negara bertetangga
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh
(Q.S. al-Nisa’: 2)
9.       Prinsip tolong menolong dan membela yang lemah
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
(Q.S. al-Maidah: 2)
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain
(Q.S. al-Taubah: 11)
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?  (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,  Atau memberi makan pada hari kelaparan,  (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,  Atau kepada orang miskin yang sangat fakir.
(Q.S. al-Balad: 12-16)
 Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim,  Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
(Q.S. al-Ma’un: 1-3)
10.   Prinsip perdamaian dan peperangan/Hubungan internasional
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka Telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu Telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. kalau Allah menghendaki, tentu dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu Pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu Maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
(Q.S. al-Nisa’: 89-90)
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
(Q.S. al-Anfal: 61)
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
(Q.S. al-Hujurat: 9)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(Q.S. al-Mumtahanah: 8)
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.
(Q.S. al-Baqarah: 216)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(Q.S. al-Baqarah: 190)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
(Q.S. al-Baqarah: 193)
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, Karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.
(Q.S. al-Taubah: 12)
11.   Prinsip ekonomi dan perdagangan
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
(Q.S. al-Nisa’: 29)
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
(Q.S. al-Baqarah: 275)
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
(Q.S. al-Baqarah: 198)
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya,
(Q.S. al-A’raf: 85)
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(Q.S. al-Isra’: 35)
 Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,  Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
(Q.S. al-Muthafifin: 1-3)
12.   Prinsip administrasi dalam perikatan/muamalah
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
(Q.S. al-Baqarah: 282)
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;
(Q.S. al-Baqarah: 283)
 
 
13.   Prinsip membela negara
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia Ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.
(Q.S. al-Taubah: 38)
Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(Q.S. al-Taubah: 39)
14.   Prinsip hak-hak asasi
a.       Hak untuk hidup
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
(Q.S. al-Isra’: 33)
b.      Hak atas milik pribadi dan mencari nafkah
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
(Q.S. al-Baqarah: 188)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
(Q.S. al-Nisa’: 29)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
(Q.S. al-Nisa’: 32)
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(Q.S. al-Jumu’ah: 10)
c.       Hak atas penghormatan dan kehidupan pribadi
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
(Q.S. al-Nur: 27)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri  dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan
(Q.S. al-Hujurat: 11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
(Q.S. al-Hujurat: 12)
d.      Hak berpendapat dan berserikat
Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
(Q.S. al-Nisa’: 59)
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
(Q.S. Ali Imran: 104)
 Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(Q.S. al-Ashr: 1-3)
e.       Hak kebebasan beragama, toleransi atas agama dan hubungan antar pemeluk agama
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
(Q.S. al-Baqarah: 256)
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
(Q.S. al-An’am: 108)
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
(Q.S. al-Yunus: 99)
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka,
(Q.S. al-Ankabut: 46)
 
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(Q.S. al-Mumtahanah: 8)
f.        Hak persamaan di depan hukum dan membela diri
Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
(Q.S. al-Nisa’: 58)
Dan Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka.
(Q.S. al-Syura: 41)
g.       Hak kebebasan dari penganiyaan
Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar
(Q.S. al-A’raf: 33)
h.      Hak kebebasan dari rasa takut
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
(Q.S. al-Maidah: 32)
15.   Prinsip amal makruf dan nahi munkar
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
(Q.S. Ali Imran: 110)
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
(Q.S. Ali Imran: 114)
16.   Prinsip dalam menetapkan para pejabat atau pelaksana suatu urusan
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".
(Q.S. al-Qashash: 26)
 
B.     Prinsip-Prinsip dari Hadits
1.       Prinsip kebutuhan akan pemimpin
Apabila ada tiga orang bepergian keluar hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin
(H.R. Abu Daud)[11]
Tidak boleh bagi tiga orang yang berada di tempat terbuka di muka bumi ini kecuali ada salah seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin mereka
(H.R. Ahmad)[12]
2.       Prinsip tanggung jawab seorang pemimpin
Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, seorang kepala negara yang memimpin rakyat bertanggung jawab atas mereka, dan seorang laki-laki adalah pemimpin penghuni rumahnya dan bertanggung jawab atas mereka
(Muttafaq ’alaih)[13]
3.       Prinsip hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin berdasarkan persaudaraan saling mencintai
Pemimpin-pemimpin kamu yang baik adalah pemimpin-pemimpin yang mencintai mereka (rakyat) dan mereka mencintai kamu, mereka mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka. Sedangkan pemimpin-pemimpin kamu yang tidak baik adalah para pemimpin yangkamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu
(H.R. Ahmad)[14]
4.       Prinsip ketaatan
Wajib atas seorang muslim mendengarkan dan mentaati perintah baik yang disenangi maupun tidak, kecuali jika ia diperintah untuk melakukan maksiat
(H.R. Bukhari)[15]
Akan datang kepada kamu sesudahku para penguasa-penguasa yang baik akan memerintah kamu dengan kebaikannya dan penguasa yang jahat akan memerintahkan kamu dengan kejahatannya, maka dengarkan dan taati segala yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik maka itu untuk kamu dan mereka tapi jika mereka berbuat jahat maka akibatnya untuk kamu dan mereka bertanggung jawab atasnya
(Hadis yang bersumber dari Abu Hurairah, sahabat Nabi)[16]
5.       Pemimpin yang tidak konsisten dan tidak bertanggung jawab
Akan datang kepada kamu pemimpin-pemimpin yang memerintahkan kamu untuk melakukan sesuatu padahal mereka tidak melaksanakannya, barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka itu dan membantu kezaliman mereka, maka ia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya
(H.R. Ahmad)[17]
6.       Prinsip tolong menolong oleh yang kuat atas yang lemah dan yang kaya atas yang miskin
Barang siapa memiliki kelebihan berupa kemampuan, maka hendaklah ia membantu dengan kelebihannya itu atas orang yang tidak memiliki kemampuan, dan barang siapa memiliki kelebihan bekal maka hendaklah ia memberikan kelebihannya itu kepada orang yang kekurangan bekal
(H.R. Abu Daud)[18]
Barang siapa memiliki makanan yang cukup untuk di makan dua orang, maka hendaklah ia membaginya supaya cukup dimakan tiga orang. Dan barang siapa memiliki makanan untuk jatah empat orang, maka hendaklah ia membaginya supaya cukup dimakan lima atau enam orang
(H.R. Ahmad)[19]
7.       Prinsip kebebasan berpendapat
Siapa di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah ia ubah dengan tangannya, jika ia tidak mampu dengan lisannya, dan jika tidak mampu dengan lisan maka dengan hatinya dan yang demikian adalah selemah-lemahnya iman
(H.R. Ahmad)[20]
Sesungguhnya Allah meridhai bagi kamu tiga hal: bahwa hendaklah kamu menyembah-Nya dan jangan menyekutukan-Nya, bahwa kamu berpegang kepada tali Allah dan jangan kamu terpecah belah, dan bahwa kamu memberi nasehat (kritik) terhadap orang-orang yang memimpin kamu
(H.R. Muslim)[21]
Ada tiga yang tidak membuat dengki hati seorang muslim: amal yang ikhlas karena Allah, menasehati para pemimpin, dan mendatangi jamaah kaum muslimin, karena pertolongan mengalir dari pihak mereka
(H.R. para ahli Sunan)[22]
 
 
8.       Prinsip persamaan di depan hukum
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu binasa lantaran apabila ada seorang tokoh terhormat mencuri mereka mereka membiarkannya, dan tetapi apabila ada seorang lemah mencuri mereka melaksanakan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri niscaya aku akan potong tangannya
(H.R. Ahmad)[23]
9.       Prinsip dalam mengangkat para pejabat negara atau pelaksana suatu urusan
Jika kamu menghilangkan amanat maka tunggulah masa kehancuran, ditanyakan: Bagaimana yang dimaksud menghilangkannya?Beliau menjawab: jika suatu perara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya [24]
Barang siapa memegang kekuasaan mengurus urusan kaum muslimin, kemudian ia mengangkat seseorang pada hal ia menemukan orang yang lebih pantas bagi kaum muslimin daripada orang itu, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya [25]
Janganlah kamu meminta suatu  jabatan pemerintahan, sebab jika jabatan itu diberikan kepadamu atas permintaanmu maka akan berat bagimu mempertanggung jawabkannya. Tapi bila jabatan itu diberikan kepadamu tanpa ada permintaan darimu maka kamu akan mendapat kekuatan untuk melaksanakannya. Jika kamu telah diangkat dengan suatu sumpah, kemudian kamu melihat orang lain yang lebih baik untuk menduduki jabatan itu maka serahkanlah ia kepada orang itu dan lepaskan sumpah jabatanmu
(H.R. Ahmad)[26]
10.   Prinsip musyawarah
Hendaklah kamu selesaikan urusan kamu dngan musyawarah [27]
Bermusyawarahlah kamu dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang tajam (ahl al-ra’yi) tentang suatu hal dan ikutilah mereka dalam hal itu  [28]
Apabila salah seorang kamu meminta konsultasi kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberikan petunjuk kepada orang itu
(H.R. Ibn Majah)[29]
Orang yang diminta nasehatnya adalah orang terpercaya
(H.R. Ibn Majah)[30]
11.   Prinsip persaudaraan
Janganlah kamu salaing membenci, saling menghasut, dan saling membelakangi, tapi jadilah kamu sebagai hamba Allah yang bersaudara. Tidak hala bagi seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya di atas tiga hari
(H.R. Bukhari)[31]
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain
(H.R. Bukhari)[32]
 
Penutup
Dari deskripsi singkat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjadi prinsip bernegara dalam pandangan Islam tidak menentukan suatu sistem dan bentuk tertentu mengenai kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang harus diikuti umat Islam, melainkan hanya menerangkan dasar-dasarnya saja. Tapi dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip itu dapat dikembangkan sistem sosial pemerintahan dan sistem ekonomi sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem dan bentuk pemerintahan serta teknis pengelolaan diserahkan kepada kehendak umat sesuai dengan masalah-masalah kehidupan duniawi yang timbul pada tempat dan zaman mereka.
 
Daftar Pustaka
 
Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah dkk, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, terj. Jamaluddin Kafie, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987
 
Abu Daud, Sunan Abu Daud, al-Qahirat: Dar al-Hadits, 1988, Vol. III
 
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Maktab al-Islami, t.t., Jil. II
 
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah, Bandung: Sunan Gunung Jati Press, 2003
 
Ali Abdurraziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm
 
Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, jud. Asli: al-Ahkam al-Sulthaniyat, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
 
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jil. III, Juz  9
 
Ibn Katsir, Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1981, Jil. I
 
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Jil. II
 
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
 
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, judul asli: an-Nazhariyatu as-Siyasatul-islamiyyah, penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
 
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
 
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1990


[1] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1990), h. 1 dan 147. lihat juga: J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 1
[2] J. Suyuthi Pulungan, Ibid.
[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Mawaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, t.t), Juz. III, h. 3
[4] Di antara tokoh yang mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah dan mantan menteri perwakafan, di dalam bukunya yang di publikasikan pada tahun 1925, berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm
[5] J. Suyuthi Pulungan, Op. cit.
[6] Ibid.
[7] Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, h. 333
[8] The Encyclopedia of Islam, IV, h. 350
[9] J. Suyuthi Pulungan, Loc. Cit.
[10] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Siyasah Syar’iyah, (Yogyakarta: Madah, t. tp.), h. 8
[11] Abu Daud, Sunan Abu Daud, (al-Qahirat: Dar al-Hadits, 1988), Vol. III, h. 37
[12] J. Suyuthi Pulungan, Op. Cit.  h. 16.
[13] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahamd bin Hanbal, (al-Maktab al-Islami, t.t.), Jil. II, h. 5 dan 54
[14] Ibid., Jil. VI, h. 24
[15] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jil. III, Juz  9, h. 78
[16] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyat, h. 5
[17] Ahmad bin Hanbal, ….. Op.Cit. Jil. II, h. 90
[18] Abu Daud, ….. Op.Cit. jil. II, h. 129
[19] Ahmad bin Hambal, ….Op.Cit. Jil. I, h. 197
[20] Ibid., Jil. III, h. 20
[21] Ibn Taimiyah, …..Loc. Cit
[22] Ahmad bin Hanbal, …… Op. Cit., Jil. V, h. 183
[23] Ibid., Jil. VI, h. 162
[24] Sebagaimana dikutip dalam Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah dkk, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, terj. Jamaluddin Kafie, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), h. 170
[25] Ibid., h. 168
[26] Ahmad bin Hambal, …… Op. Cit. Jil. V, h. 62-63
[27] Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu’thi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam, (Iskandariyat: Dar al-Jami’at al-Mishriyat, 1978), h. 72
[28] Sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir, Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1981), Jil. I, h. 332
[29] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jil. II, h. 1233
[30] Ibid.
[31] Al-Bukhari, ……  Op. Cit. Jil. III, Juz 8, h. 13
[32] Ibid., Juz 9, h. 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar